Thursday, December 13, 2012

Ini Bukan Cinta

      Matahari siang ini begitu terik, peluh menetes membasahi pelipis seorang wanita berambut keriting yang bernama Olivia Dameria. Ia tampak letih meladeni teriknya cuaca siang yang memaksa sistem ekskresinya untuk bekerja lebih keras lagi.
"Ya ampun, mana sih angkotnya." Pekik Olive yang mulai lelah menunggu angkutan umum yang menyita 15 menit keefektifan waktunya. Kali ini merupakan kali kelima Olive mengintip jam tangan berwarna merah yang melingkari pergelangan tangan sebelah kirinya.
      Dari kejauhan terlihat seorang pengendara motor menghampiri Olive yang sedang berdiri dengan posisi tolak pinggang membelakangi pengendara tersebut.
      "Olive! Lo Olive kan? Mau bareng enggak?" Panggil pengendara motor itu.
Tatapan angkuh yang semula dipancarkan Olive tiba-tiba memudar dan berganti dengan tatapan heran dan panik. Seketika, Olive seperti tengah berada dalam teori relativitas waktu yang diaum-aumkan oleh Einstein. Dia hampir merasa sesak, ia merasa tengah berada dalam ratusan kilometer kecepatan cahaya. Olive merasa dirinya tua dalam menikmati waktu yang tiba-tiba melambat ketika orang yang memanggilnya itu dengan perlahan membukan kaca helm.
     
"Eh, Joe. Enggak usah, makasih, palingan juga sebentar lagi angkotnya lewat." Sahut Olive pada pengendara motor yang ternyata bernama Joe itu.
      "Oh, yaudah kalo gitu gue duluan ya." Cetus Joe yang langsung menutup kaca helm dan kemudian melaju meninggalkan Olive. Olive mendadak tertegun melihat Joe yang sama sekali tidak menyadari kebasa-basiannya. Olive mendecakkan lidah ketika melihat bayangan Joe yang mulai hilang seakan tertelan ujung jalan.
       Sudah dua tahun terakhir Olivia mengenal Joe, dan sudah dua tahun pula ia larut dalam embun cinta yang menyelimuti hatinya. Dalam diam sebenarnya Olivia menanti Joe untuk sedikit menengok perasaan terdalamnya, perasaan yang sebenarnya ingin ia tunjukan, perasaan yang membuatnya bertahan dalam sebuah...penantian.
     
Mungkin bagi sebagian orang menanti merupakan hal yang membosankan, tapi tidak untuk Olivia. Baginya, menanti merupakan salah satu bagian dari usaha untuk mengerti apa itu cinta, untuk mengerti mengapa cinta hadir menyelimuti hatinya yang mulai sesak ditempati berbagai macam hal tentang Joe, dan untuk mengerti mengapa cinta seolah-olah mematahkan teori grafitasi Isaac Newton, karena setiap saat dimana ia mengingat Joe, tubuhnya seolah-olah melayang membawa raga asmaranya ke dalam segelintir imajinasi indah tentang Joe.

    ______________
     Rasa malas mulai menggelayuti Olivia, membuatnya merasa berat untuk melangkah menuju Gereja. Entah mengapa dicuaca yang cerah pada minggu pagi ini hatnya serasa sedang diselimuti awan hitam yang bergejolak mengahantarkan guntur dalam relung-relung batin, membuat hatinya merasakan letupan pahit yang terus mengganjal.
        Olive terus melangkah menapaki pekarangan Gereja. Dengan malas ia membuka engsel pintu, mengajak tubuhnya untuk terus masuk ke dalam. Dari kejauhan nampak teman-teman Gerejanya melambaikan tangan ke arah Olive. Disana tampak juga Joe yang mengenakan kemeja merah lengan panjang yang dipadukan dengan jeans hitam serta sepasang sepatu nike keluaran terbaru, dan tidak ketinggalan sebuah kacamata yang bertengger tepat di batang hidung  pria keturunan Jawa ini.
        Olive mulai mengatur napas untuk menjinakan rasa gugup yang mulai mengganas dalam dirinya ketika mendekati kerumunan teman-teman Gerejanya dan juga Joe. Semakin mendekat, semakin nampak seorang wanita asing yang mengenakan setelan dress berwarna peach yang menampakan kesan feminim dari gadis tersebut.
       "Nah, Joe. Sekarang lo kenalin dia dong ke Olivia." Christy, salah satu teman Gereja Olive memerintah Joe untuk mengenalkan gadis itu padanya, karena sepertinya hanya Olive saja disini yang belum berkenalan dengan gadis itu.
       "Olivia, kenalin ini Nathalie pacar gue, gue sengaja ajak dia kesini buat dikenalin sama anak-anak Gereja." Seketika, tangan gadis itu terulur menunggu sambutan tangan Olivia. Olivia tercengang, matanya memanas seakan ingin meluapkan berjuta butiran air mata, tubuhnya seakan merasakan sakit seperti jatuh ke dalam dasar bumi. Tersadar dari lamunan menyesakkannya, akhirnya Olivia menyambut uluran tangan gadis itu. Mereka berdua sama-sama menyebutkan nama dan saling melemparkan senyum. Meski terlihat tulus, sebenarnya itu adalah senyum yang penuh kebohongan dan kemunafikan dari Olivia.
        Nathalie yang memancarkan semburat energinya pada Olivia  menyebabkan Oliva kehilangan energinya, dan membuat lajunya semakin lambat sehingga tertarik ke dalam inti pusaran kesedihan. Tanpa disengaja sepertinya aura yang dipancarkan Olivia seperti tersedot oleh energi yang dpancarkan dari keanggunan dan kefeminiman gadis bernama Nathalie.
        Selama beberapa jam, Olivia hanya terdiam dalam kecamuk luka di hati, ia ingin sekali menangis meratapi keegoisan dirinya untuk mencintai Joe. Selama mengikuti ibadah di Gereja, wajah datarnya terpampang tanpa warna kehidupan, seperti boneka mannequin yang terpajang di kaca-kaca pertokoan. Dengan hati yang telah berubah menjadi serpihan-serpihan luka, ia memaksakan dirinya untuk melangkah keluar dari Gereja. Satu langkah, dua langkah, dan akhirnya tangis Olivia pun pecah, memecah kekhidmatan doa yang sedang dipanjatkan dalam Gereja. Dalam derap langkahnya, guyuran air hujan yang menyerang dengan peluru-peluru airnya seakan dapat menyelamatkannya dari air mata yang menetes dipipinya. Sekarang Olivia terisak memikirkan betapa bodohnya dia yang bisa mencintai Joe, dan rela terjerembap dalam jurang penantian selama dua tahun terakhir ini.
        Dalam situasi seperti ini, dengan tubuh yang basah dan juga mata yang sembab, ia enggan menaruh perhatian pada hal apa pun. Ia berpaling, kemudian mulai mengalihkan pikirannya dari hal yang membuat seluruh raganya terasa seperti tertusuk oleh dua mata pedang. Tertusuk amat dalam. Membuatnya sesak. Membuatnya sulit melihat sesuatu yang sifatnya buka imajinasi. Membuatnya hanyut terbawa deras arus kesedihan yang menghantarnya jatuh dalam air terjun luka.
       Olvia mencaci kebodohannya selama dua tahun dengan sabar menunggu Joe, selama dua tahun pula ia meredam perasaan yang penuh kasih pada Joe. Ia hanya butuh telinga Joe untuk membisikan kata... cinta, ia hanya butuh mata hati Joe untuk sedikit saja melihat kasih yang penuh cinta dalam perasaan terdalamnya. Bukan pelukan atau kehangatan yang ia butuhkan saat ini, hanya satu titik terang yang bisa membuatnya bangkit, yang bisa membuatnya hidup secara utuh dalam kenyataan, dan yang bisa membuatnya berhenti dalam kesedihan dan keterpurukan yang ia mau.
       Dalam hujan yang masih mengguyur tubuhnya, ia menatap nanar lurus kedepan, dan kemudian untuk detik yang penuh kesakitan ini, dan untuk detik berikutnya ia mulai memejamkan mata, dan memanjatkan sedikit doa yang penuh harapan pada Tuhan.
Ia berkata dalam kalbunya, "Tuhan, maafkan aku yang menyia-nyikan dua tahun waktu yang kau beri hanya untuk menunggu Joe, maafkan aku yang membiarkan diriku terpuruk dalam sebuah penantian, sekarang aku mengerti, Tuhan, cinta tidak akan membuat aku menunggu, cinta tidak akan membuat aku memilih untuk diam menanti, cinta bukan tentang apa itu mencintai tetapi apa itu mencintai dan dicintai, aku merelakannya Tuhan, jaga dia dengan tulan rusuk sesungguhnya."



Thanks to: Mayusa- Sahabat saya yang sudi kisahnya saya kemas dalam bentuk cerita ini ^_^

0 komentar:

Post a Comment