Friday, March 3, 2017

Living with scars on my face

Bismillahirahmanirahim...

Sebenarnya mau berbagi kisah ini sejak lama, sejak mata yang kala itu masih basah, sejak dada masih sesak menerima kenyataan, tapi rasanya terlalu sakit untuk membuka kembali luka yang telah lama mengering.. tapi di sinilah saya sekarang, menceritakannya pada kalian...

Saat SMA dulu saya adalah si periang, si pemarah, si kocak, si pemberani dan si-si aneh lainnya. Saya pemberani, wanita paling berani mati. Bagaimana tidak? Saya kala itu memacu motor sampai dengan kecepatan 100 km/ jam. Bergaya bak pembalap padahal tahu jalanan itu bukan sirkuit balap, padahal tahu pengguna jalan bukan saya saja. "Ah masa bodo, lah! Orang-orang lain juga begitu". Sampai akhirnya di depan motor saya ada juga pengendara yang kelakuannya 11:12 dengan saya, ngebut, seruduk sana-sini, nyalip angkot tanpa tahu di depan ada anak SMA yang sama gilanya dengan dia.

"Aaaaaah"... bukan, bukan saya yang teriak. Itu teman saya yang saya bonceng, Maria, yang teriak, dia takut, pun dengan saya. Tapi saya tidak bisa teriak, yang terasa hanya seseorang-yang entah siapa-seperti menyelimuti saya dengan kain abu. Tidak ada rasa sakit, tapi ada beberapa yang saya ingat. Sebuah motor tadi melaju kencang, menyalip angkot, dan tiba-tiba saja ada di depan saya.

Saya terbangun, kebas rasanya, tidak sakit. Saat bangun, samar-samar yang saya lihat hanya darah, dan dua buah benda putih seperti.... gigi?. Lalu kemudian menyusul suara pria yang lelah, ngos-ngosan, saat mengangkat tubuh saya. Allah maha kuasa, tepat ditempat itu ada sebuah klinik, akhirnya saya dibaringkan di sana.

"Coba kumur", suster menyuruh. Rasanya masih kebas, sedikit perih, banyak pasir, ewh. Si suster menyodok-nyodok rongga mulut saya menggunakan cotton bud, dan banyak kapas..
"Coba kamu bersihkan sendiri", saya bingung, seorang yang sedang payah, yang jarinya sudah bengkok, yang lengannya tiba-tiba kaku, disuruh mengurus dirinya sendiri... Masa bodo, saya lakukan apa yang dia mau. Saya bersihkan menggunakan cotton bud meski lengan sulit terangkat, sodok-sodok, hmmm sepertinya ada yang aneh. Kenapa cotton bud nya bisa meluncur tanpa hambatan ke dalam mulut saya? Hmm.. yang putih tadi, ku kira mimpi, ternyata benar gigiku hehehe..

Setelah itu saya menangis, memikirkan bagaimana caranya bilang ke Bapak. Padahal mau daftar akpol, padahal akpol sudah masuk ke dalam life plan saya... Bagaimana? Ah masa bodo... Bapak yang saat itu baru mau berangkat kerja langsung menjemput aku di klinik, akhirnya kami, aku dan Maria, di bawa ke rumah sakit terdekat, RSUD Cibinong, oleh Pak Samosir, Makasih Om..

Kebas yang saya rasakan teralihkan oleh paras suster di sana, hehehe. Ya, tampan sih... Tapi, dia yang menusuk bibir saya dengan jarum suntik, dia yang bilang luka di bawah hidung saya harus dijahit. Mas, sakit mas.. Saya menggila, itu rasa sakit pertama yang saya rasakan setelah kejadian tadi. Sumpah, saya mengejang, meronta, teriak-teriak sambil menangis sekencang-kencangnya sampai mungkin satu koridor bisa mendengar. Hal tersebut merupakan ekspresi yang paling signifikan yang pernah saya tunjukan seumur hidup saya. Ditemani Maria, dan keluarganya. Mama tidak berani menemani saya, Mama sedih, saya paham, Bapak juga. Ini kali pertama mereka melihat anaknya seperti ini, saya paham, sungguh. Maaf ya, Ma, Pak, anakmu bandel. 

Sudah lebih dari 15 menit ternyata luka di bawah hidung ini belum dapat dijahit, teror pun menghampiri kembali. Si suster tampan menyarankan untuk dibius sekali lagi, dengan jarum suntik yang dapat membuat saya mengeluarkan ekspresi yang paling signifikan di hidup saya. Alhamdulillah Allah maha baik, dokter datang dan bilang "Itu tidak usah dijahit, lukanya dalam tapi tidak perlu dilakukan prosedur itu"... Saya senang, tidak jadi meronta, dan kembali fokus dengan parasnya.. hehehe, bukan, saya fokus dengan masa depan saya, saya mau tes Akpol, tapi.. ah sudahlah. Saya lihat cermin tergantung tepat pada dinding di depan saya. Naluri wanita, saya pun bangun dan bercermin. "Mar, gue serem ya? Hahahahaha" menertawakan diri sendiri, ternyata rasanya lucu menjadi orang dengan fisik seperti itu, seperti yang di cermin.

Butuh waktu lebih dari satu minggu menggunakan masker ke sekolah. Semua penasaran, ingin melihat sesuatu di balik masker itu. Ayolah, ini bukan hal yang pantas dan hal yang baik untuk kalian lihat, bahkan untuk diri saya lihat, sangat menyedihkan. Setelah masker dibuka, saya senang, wajah saya sedikit kembali normal, meskipun si luka di bawah hidung, yang penuh drama itu, belum mau menghilangkan dirinya. Ugh! senang sih, tapi bekas luka yang hampir mengering dengan warna merah dan coklat ini membuat saya tidak terlalu nyaman, dan akhirnya menggunakan masker itu lagi. Sesekali saya buka, gerah ah. Saat kecelakaan, sahabat-sahabat saya tahu kondisi fisik pada muka saya, mereka juga harusnya tahu kondisi mental yang saya alami paska kejadian tersebut...

Selang beberapa hari, salah satu sahabat saya ada yang mengalami musibah. Innalilahi.. kecelakaan motor sama seperti saya. Alhamdulillah lukanya tidak seberat saya. Uniknya sahabat, kami memiliki luka yang hampir sama, sama-sama dibawah hidung. Alhamdulillah sahabat saya tidak patah tulang, tapi tetap tidak dapat dibilang baik-baik saja, karena ia mengalami beberapa luka lecet dan lebam akibat kecelakaan tersebut.

Manusia memiliki respon yang berbeda-beda terhadap hal-hal yang dialaminya, termasuk saya dan teman saya, kami berbeda. Saya mungkin lebih calm, dan tidak terlalu memikirkan hal-hal yang saya alami secara fisik pasca kecelakaan, saat itu yang saya pikirkan adalah plan pengganti setelah Akpol pupus harapan. Saya tidak terlalu terpikir dengan kerusakan fisik pada wajah saya.. Berbeda dengan sahabat saya, Aura Kasih grade ori. Saya saja yang perempuan mengaguminya, parasnya memang cantik apa adanya, serius benar-benar mirip Aura Kasih. Mungkin menurutnya look comes first. Sah-sah saja karena memang manusia berbeda, pun dalam hal respon-merespon musibah.

Singkat cerita... pada waktu istirahat saya sedang duduk-duduk di koridor depan kelas kami, sambil membincangkan banyak hal random. Sahabat saya pun masih membincangkaan soal luka dibawah hidung yang mengganggunya, bukan dengan saya tapi dengan sahabat saya yang lain...
"Mae, aduh ini gimana yaaaa. Sebel deh lukanya ga hilang-hilang"
"..." Saya lupa Mae bilang apa...
"Gimana ya Mae. Sebel lukanya ga ilang-ilang... Masa nanti kaya Si-Ta..."
.
.
.
.
.
Manusia dapat mengingat memori-memori paling membahagiakan, paling menyedihkan, paling menyakitkan di hidupnya. Termasuk saya... Ya masih terekam wajah sahabat saya saat mengucapkan hal demikian, entah apa yang membuatnya tidak melanjutkan kalimatnya. Saat itu saya tidak tahu Maria mendengar sahabat saya berkata demikian. Tapi saya tahu Maria tidak ingin menyakiti saya, maka dari itu dia memilih diam dibanding menanggapi kalimat sahabat saya itu, mungkin Mae juga demikian.

Entah mengapa saat itu ada rasa sakit yang membuat dada saya sesak, yang membuat fokus saya buyar semenjak istirahat, yang membuat saya sedari tadi menulis sahabat dengan format italic, sahabat, yang membuat saya diam saja ketika di rumah.
"Mi, kenapa?" Kata Mama... Kemudia tangis saya pecah.
Saya bilang pada Mama...
"Apa yang salah sama muka, Tami?"
"Emang kalo punya luka kaya gini kenapa?" sambil nunjuk si luka paling dramatis itu, hehe.
"Emang Tami mau kecelakaan? Kalau bisa milih Tami juga kan ga mau, Ma"
"Emang kenapa sama muka Tami sampe-sampe si sahabat aja yang padahal lukanya biasa aja sampe ga mau keliatan kaya Tami?"
.
.
.
.
.
Selama setahun saya hardik wajah saya sendiri, wajah yang diwariskan oleh kedua orang tua saya. Selama setahun saya mencari cara untuk dapat mengenyahkannya. Saya membenci wajah saya, saya benci cermin, saya benci saya. Saya juga benci sahabat saya, sahabat yang bilang saya orang terdekatnya, saya benci dia karena tak melanjutkan kalimatnya. Bukankah lebih baik kalau kau lanjutkan saja, bilang saja "Masa nanti kaya Si-Ta...pir" Sungguh tak apa, lebih baik demikian dari pada tak dilanjutkan, membuatku salah pengertian, sahabat.

Hati saya hancur... bahkan seseorang yang saya anggap paling dekat dengan saya dapat mengeluarkan kalimat itu, bagaimana dengan orang lain? Saya menganggap diri saya rendah, menghindari foto, menghindari orang-orang melakukan perbincangan serius sehingga mengharuskan melihat wajah saya dekat-dekat, saya kecil.

Sesak itu membuat saya melupakan rasa syukur... Naudzubillah...
Saat itu saya orang paling kufur...
Saat itu nikmat tak terlihat...
Sampai akhirnya saya sadar, manusia diciptakan untuk menerangi dunia dengan ilmunya, mengantarkan ilmu dengan akhlaqnya, manusia diciptakan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, bukan kecantikan... Kalau memang demikian seharusnya tabaruj dihalalkan, dan hijab ditiadakan, ya kan?

Hal tersebut merubah perspektif saya, bagi saya semua orang cantik... teman saya bertanya "Tam menurut kamu dia cantik ga?", dan selalu saya jawab "Cantik ah, kenapa?"... "Ah kamu mah semua orang dibilang cantik." Ya, karena memang begitu..

Siapa yang berani bilang kamu jelek? Siapa dia yang melecehkan ciptaan Allah? Siapa dia yang bilang ciptaanNya jelek? Siapa dia berani menghina orang tuamu yang telah mewarisi tiap gurat wajah dan tubuhmu? Siapa dia yang berjalan dimuka bumi dengan angkuh?

Mereka yang berani menghinamu karena bentuk fisikmu mungkin lupa, kalau Allah ingin memberi luka diwajahnya, dan memar ditubuhnya, maka jadilah..

Alhamdulillah, meski terbilang lama namun hal tersebut justru merubah hidup saya. Membuat saya merasa bersyukur memiliki si luka yang paling dramatis dan mampu membuat saya bergejolak, hehehe. Membuat saya tak jadi ingin mengenyahkannya. Insya Allah saya mau terus hidup berdampingan dengan si luka, si motivator, si cermin, si hidayah. Meski terkadang masih terpikir, kira-kira ada gak ya laki-laki yang menerima saya dengan luka ini? Meski terkadang juga terpikir laki-laki baik melihatmu dari akhlak dan imanmu... Aamiin...

0 komentar:

Post a Comment