Thursday, September 28, 2017

M A A F

Sejatinya hati pasti terluka, tergores sudut-sudut kata yang tajam yang bahkan dapat menghancurkan, terluka karena sikap dan perbuatan segelintir manusia karbitan. Lantas kata "Maaf" digadang-gadang sebagai sebuah penawar akan hancurnya perasaan-perasaan itu. Ia selalu saja dikambinghitamkan, disalahkan apabila si pengguna tak kunjung mendapat pengampunan. Maka sering terdengar "Maaf" yang diucap sembarang, berkali-kali, sesering kesalahan dibuat, dan gampangan.

ma.af     

  1. n pembebasan seseorang dari hukuman (tuntutan, denda, dan sebagainya) karena suatu kesalahan; ampun: minta --    
  2. n ungkapan permintaan ampun atau penyesalan: --, saya datang terlambat    
  3. n ungkapan permintaan izin untuk melakukan sesuatu: --, bolehkah saya bertanya    



Ma.af mungkin mengalami peyorasi, menciut maknanya akibat disebutkan berkali-kali, pun hati makin kerdil menerima maaf bertubi-tubi. Bisakah, maaf hanya diucapkan secukupnya? Secukup saat menyakiti? Secukup saat menciderai? Secukup saat waktu dimana tulus masih ada dalam hati?

Mengulangi maaf hanya membuat penat, juga sesak. Apalagi mengucap maaf yang tidak dibarengi dengan perbuatan. Maaf tak sedangkal seperti hanya sekedar kata, tapi maaf adalah sedalam relung.

Untuk kita yang terkadang lupa makna maaf terdalam sesungguhnya, untuk kita yang sering khilaf akan kata dan perbuatan, sesungguhnya kata maaf tak dapat membalut perih yang sudah menjalar di hati, tak dapat membuat yang pecah utuh seperti sebelum ia pernah dipecahkan, dan tak dapat menyembuhkan gores tanpa meninggalkan bekas.

Kata maaf hanya gerbang, namun memaknai kata tersebut ke dalam perbuatan-perbuatan yang mencerminkan "maaf" itu sendiri adalah seperti berjalan menyusuri gerbang itu. Jalannya mungkin berliku, mungkin panjang dan melelahkan, atau mungkin singkat dan cepat, tetapi itulah cara yang benar untuk memaknai maaf yang sesungguhnya.


(Hutami, 9, 29, 2017)