Monday, November 11, 2013

Sweet Goodbye

Malam ini suara petir mengaung dari celah-celah langit, gemuruh silih berganti berdengung-dengung pada bumi.

oeeee....oeeeee...oeee. Pekik tangis seorang bayi beradu dengan ekspresi kelam langit pada minggu malam ini.

"Nina bobo...ooh nina bobo kalau tidak bobo digigit nyamuk..." Ibu muda itu bersenandung pada bayinya, berharap bisa menghentikan tangisnya. Namun, sang bayi masih terus merengek, mengadu suara tangisnya dengan suara alam yang terus berburu. Dengan lembut sang Ibu mengangkatnya dari ranjang, memeluknya penuh kasih dan cinta, pelupuk matanya penuh, ada butiran-butiran air yang memaksa tumpah ruah saat memandangi seorang bayi yang sekarang berada dipelukannya dan seorang anak perempuan berusia lima tahun yang sedang terlelap berbalutkan sarung usang, haru suasana tercipta, meskipun pemerannya adalah tiga manusia dalam pelupuk nestapa realita.



Ibu muda itu, Wulandari Ningsih, mengasuh kedua anaknya seorang diri. Dua minggu yang lalu suaminya meninggal dunia terserang TBC akut selama dua tahun terakhir. Jangan bertanya tentang warisan yang berbentuk harta dan benda, keluarga kecil ini terperosok dalam jurang kemiskinan, kedua malaikat yang menanti kecerahan masa depan pun entah akan jadi apa nantinya. Rumah, ah tidak gubuk reot ini sama sekali tak pantas disebut sebagai rumah, satu-satunya benda berwujud yang ditinggalkan suaminya. Ikhlas, tanpa keluh sama sekali Wulan memasrahkan apa yang telah terjadi, karena baginya bukan benda yang berharga, tapi pelajaran-pelajaran hidup yang diberikan dari suaminya itulah yang paling berharga.
***

"Ibu, aku mau kaya temen aku bu, boneka barbie yang rambutnya itu tuh bu, yang bisa disisir-sisir bu. Annisa mau bu..." Rengek gadis kecil kepada Ibunya yang sedang menggosok setumpuk pakaian majikannya.
          
"Nanti ya, Nak. Ibu sedang kerja, Annisa." Kata Ibu itu sambil menyeka butiran-butiran keringat di pelipisnya.
           
"Bi Wulan, gosoknya lanjutin besok aja, udah sore." Sahut sang majikan yang sedang mondar-mandir menyuapi anak semata wayang nya.
         
"Oh, iya, Nyah. Makasih ya, Nyah." Cepat-cepat Wulandari Ningsih membereskan gosokannya. Setelah pamit oleh sang tuan rumah Wulan menggendong Annisa, bayi yang dulu pernah beradu tangis dengan langit pada minggu malam.
         
Bayi itu kini telah tumbuh menjadi gadis menggemaskan berusia lima tahun. Tingkahnya aktif dan selalu merasa ingin mengetahui segalanya. Bayi yang telah tumbuh itu bernama Annisa Zahra, anak bungsu Wulandari Ningsih.
         
Kedua malaikat kecilnya kini sudah tumbuh dan berkembang menjadi penghibur, penghilang lelah dan penat atas pekerjaan orang bawahan, dan sekaligus menjadi penawar sakit dalam dirinya.
         
"Ibu... beliin barbie ya bu. Biar bisa sisir-sisirin rambutnya barbie bu." Paksa Annisa yang sekarang sedang digendong di atas punggung Wulandari Ningsih.
        
"Adek sisirin rambut Ibu sama Kak Eka aja, dari pada sisirin rambut barbie." Kata Wulan sambil tersenyum menanggapi kemauan anak bungsunya itu.
        
"Adek nggak mau ah, Bu. Rambut Kak Eka ga bagus kaya barbie, rambut Ibu juga. Ibu adek mau barbie ya..."
        
Wulan mengangguk lemah, tak kuasa berkata tidak pada malaikatnya. Iya tahu, ada berbagai macam hal yang harus dikorbankan jika gaji yang seharunya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarganya ia sisihkan untuk membeli mainan yang diinginkan Annisa. Sebelumnya, jangankan mainan, terkadang jajanan kecil warung-warung sembako pun Wulan masih memohon hutang. Ia tahu, malaikat-malaikatnya jarang menuntut, meminta banyak sesuatu, mereka jarang merasakan bahagianya bermain bersama boneka, memakai barang-barang mewah, dan mengunyah makanan dengan nutrisi baik, oleh karena itu ia menyanggupi membeli boneka barbie yang diinginkan anaknya, mungkin bukan hanya satu tapi dua, iya dua, untuk kedua malaikat surganya, Eka dan Annisa.
***
           
Guratan fajar perlahan mulai menyapu berkas-berkas gelap sisa semalam. Dingin masih terasa diselongsong gubuk yang ditinggali tiga manusia perindu kecukupan. Wulandari Ningsih sudah terbangun dari pelukan bulan malam tadi. Ia menyiapkan satu ember air hangat untuk mandi anak-anaknya yang masih berbalut sarung sebagai selimut mereka.
           
"Eka, bangun, Sayang. Kamu mandi duluan, Kak." Wulan menghampiri anak sulungnya yang menguap tak karuan sambil merenggangkan badanya diatas tikar.
          
"Iya, Bu. Oh iya..." gadis itu menghentikan langkahnya tiba-tiba. "Kita jadi belikan Annisa boneka barbie, Bu?" Tanya gadis sepuluh tahun itu pada Wulan yang sedang membuat air hangat selanjutnya untuk Annisa.
          
"Kita beli dua, Ka. Buat kamu juga." Senyum Wulan merekah pada malaikatnya itu.
         
"Nggak usah, Bu. Aku ga suka boneka barbie, buat Annisa aja." Ucap gadis kecil itu sambil berlalu untuk mandi.
          
Kedua gadis kecilnya kini sudah siap, mereka memakai baju yang paling bagus yang mereka punya untuk pergi ke pasar. Senyum para malaikatnya merekah, ini baru kali kedua anak-anaknya merasakan berbelanja di pasar, lebaran tahun lalu ketika tabungan dari gaji yang dikumpulkan Wulan telah terkumpul cukup, Wulan mengajak anak-anaknya membeli dua potong baju di pasar untuk yang pertama kalinya
           
Pasar begitu penuh sesak, banyak hiruk-pikuk disekitarnya, perdebatan akan harga terjadi antara pembeli dan penjual. Terlalu ramai orang berlalu-lalang. Tiga manusia yang sedari tadi mencari toko mainan anak akhirnya menemukannya di sudut pasar, sepertinya dipasar yang kecil seperti ini wajar jika hanya ada satu toko mainan di dalamnya.
           
"Bu, ada boneka barbie? Tolong satu untuk anak saya." Kata Wulan dibarengi dengan senyum simpulnya pada si penjual.
         
"Yang ini 25 ribu, yang ini 15 ribu, yang ini 105 ribu tapi bagus dia ga meleyot badannya." Ucap si penjual sambil menjejerkan tiga buah boneka barbie pada Wulan.
         
"Ibu...Ibu... Adek mau yang warna ini bajunya." Annisa yang berdiri di dekat Ibunya menunjuk salah satu boneka.
         
"Oh 25 ribu ini." Kata si penjual.
       
"Tolong dibungkuskan, Bu. Saya ambil yang ini." Senyum Wulan merekah melihat wajah Annisa yang senang bukan main. Ini adalah boneka pertamannya, barbie dengan gaun berwana merah jambu dan rambut tergerai panjang berhiaskan mahkota.
     
"Sekarang kita beli es krim! Anak-anak ibu mau es krim rasa apa?" Tanya Wulan yang sedang menggandeng kedua tangan peri kecilnya di sisi kanan dan kiri.
           
"Annisa mau strawberry, Bu!!" Sahut Annisa bersemangat.
           
"Kalo aku coklat, Bu!! Ayo, Bu! Ayo beli es krim!" Timpal si Sulung kepada Wulan.
           
"Iya... Ayo kita cari tukang es krimnya." Ajak Wulan pada kedua anaknya.
         
Sepanjang perjalanan pulang, Annisa terus memeluk bonekanya. Membelai-belai rambutnya yang halus panjang, menggendongnya persis seperti yang teman-teman mainnya lakukan terhadap boneka-boneka mereka, sambil menjilati es krim yang sudah mulai tercecer tak karuan di bajunya.
       
Hari ini bagai hari paling indah dalam hidup mereka, boneka, es krim, canda tawa bertiga, kunjungan kepasar, ah kadang hal-hal yang terlalu sederhana bagi orang lain, bisa begitu berarti bagi keluarga kecil ini. Mungkin kemiskinan melilit mereka hingga sesak, tapi kebahagiaan yang mereka dapat dari hal-hal sesederhana seperti ini bisa memusnahkan sesak itu. Menciptakan kenangan bersama kedua putrinya, membuat satu hari bermakna bagi mereka. Perjalanan kepasar, boneka barbie milik Annisa dengan gaun merah jambunya, es krim strawberry dan coklat yang sukses membuat badan mereka lengket dan berantakan, semua itu, bagi mereka adalah...kebahagiaan.
          ***
           
Sudah lima hari Wulan tidak masuk kerja, suhu badannya tinggi, obat warung nyatanya tidak terlalu membantu memulihkan kondisinya. Selama lima hari ia hanya berbaring sambil sesekali melakukan aktivitas yang tidak terlalu berat. Putrinya yang pertama seperti sudah dapat mengerti kondisinya, terkadang gadis kecil itu yang menggantikannya merapihkan gubuk reot ini, mencuci piring, bahkan mencuci baju Ibu dan Annisa sepulang sekolah. Terkadang, entah dari mana, putri pertamanya itu pulang dengan membawa beberapa makanan untuk dimakan, kondisi keuangan mereka memang tidak baik, Wulan tahu cepat atau lambat tabungannya akan habis kalau ia terus-menerus tidak bekerja seperti ini. 
           
Ini sudah pukul delapan malam, tapi si sulung belum juga menampakan batang hidungnya di rumah. Rasa khawatir menjerat hati Wulandari Ningsih, ia bingung, kelimpungan, bertanya-tanya pada diri sendiri dimana anaknya sedang berada. Putri kecilnya lemah, apa yang bisa dilakukan anak berumur sepuluh tahun jika terjadi apa-apa. Kekhawatiran menjerat perasaannya, menikam hatinya dengan bayangan-bayangan buruk.
          
Sementara si bungsu telah terlelap dalam pelukan sarung yang beralaskan tikar, Wulan dengan sisa-sisa tenaganya berjalan keluar rumah untuk mencari malaikat kecilnya yang terbang entah kemana. Meski tergopoh, kini Wulan sudah mencapai ambang pintu, tiba-tiba muncul anak sulungnya dengan wajah kelelahan.
          
"Kakak. Kamu dari mana?!" Tangis Wulan tumpah ketika mendapati malaikatnya ada di depan matanya sekarang, ia memeluk tubuh kecil putri pertamanya itu, ia menangis kencang mendapati Eka yang telah pulang. Suhu badan Wulan yang tinggi pun tak ia hiraukan, ketika melihat anak pertamanya datang ia langsung menumpahkan kekhawatirannya lewat pelukan. Wulan tersedu, menangis dan terus menangis diambang pintu, memeluk serta mengecup pipi dan kening putrinya.
          
"Ibu... Ini Nasi sama telor dari ibu warteg di depan gang." Putrinya menyodorkan sebungkus kantong kresek hitam ke arah Wulan. Wulan tersenyum, mengajak anaknya masuk ke dalam rumah mereka. Entah apa, tapi sepertinya hari ini berbeda bagi Wulandari Ningsih, tangisnya pun beda, air matanya kini lebih dari sebuah air mata kesedihan, disana ada sesuatu yang ingin tergambarkan, ingin terucap tapi tertahan.
          
"Ibu...badan Ibu panas, makan yuk, Bu." Ucap gadis itu sambil menjulurkan kantong krekes tadi beserta sendok ke arah Wulan.
          
"Ibu gak laper, Sayang. Kamu udah makan?"
          
"Udah, Bu. Tadi dikasih makan sama Ibu warteg"
           
"Sini tidur sama Ibu sama Annisa." Putrinya membaringkan tubuhnya disebelah Wulan, tangan mungilnya kini memeluk tubuh Ibunya yang sedang demam. 
           
Wulan tidur diantara Eka dan Annisa. Kedua malaikat kecilnya itu kini memeluk tubuhnya, seakan bagai obat yang mendinginkan suhu tubuhnya yang panas kini. Suara jangkrik mulai berderik bersautan dengan tik tok jam dinding yang terpajang tepat di depan mereka, dalam gubuk ini ada tiga manusia yang sedang memanjakan tubuhnya, bukan pada kasur yang empuk, melainkan pada tikar yang mengalasi tubuh mereka, bukan juga pada selimut tebal, melainkan pada sarung lusuh pemberian tetangga yang kasihan. Dari gubuk ini, memori beberapa tahun silam terputar kembali di kepala Wulandari Ningsih, sosok Ibu yang berperawakan kurus dengan tinggi rata-rata, kulit kuning dengan wajah yang berhias setumpuk rasa lelah, tapi satu yang tak pernah pudar, senyumnya, senyum akan kegigihan menjalani realita dalam nestapa, senyum akan keikhlasan seorang ibu yang menerima takdir untuk merawat dua anaknya seorang diri, seorang ibu yang selalu berpasrah pada sang Khalik tentang nasib kedepannya.
          
"Nina bobo...ooh...Nina bobo...Kalau tidak bobo...digigit nyamuk...." Wulan bersenandung, menyanyikan lagu pengantar tidur untuk para malaikat kecilnya. "Nina Bobo...ooh...Nina Bobo...Kalau tidak bobo digigit nyamuk..." Air matanya menetes, dadanya terisak, dia menciumi kedua putri kecilnya.
         
"Kalian berdua harus sukses, harus bisa memutus tali kemiskinan yang membelit kita. Anak-anak Ibu harus jadi anak yang cerdas, anak yang berbakti...Anak yang santun. Kakak harus jagain Annisa. Annisa harus sayang sama kakak." Wulan masih terisak, yang ia tahu anak-anaknya kini telah terlelap, ia berbicara dalam sepi tak sendiri.
             
"Ibu tahu maksud dari tujuan Tuhan menciptakan kalian berdua dalam hidup Ibu, Ibu juga tahu mengapa kalian terlahir sebagai anak Ibu. Tuhan menciptakan kalian berdua untuk mengurangi beban Ibu, bukan untuk menambahnya, kalian malaikat-malaikat kecil Ibu bagai seteguk air dalam takjubnya dahaga, seberkas sinar dalam pelukan salju. Kalian hadir sebagai malaikat kecil Ibu untuk belajar apa itu hidup, untuk menikmati kebahagiaan sederhana dengan cara kaum bawahan agar kelak ketika kalian diatas kalian tidak akan terus berjalan dengan mendongakkan kepala, Sayang." Wulan menyeka air matanya yang beranak sungai tepat di kedua pipinya.
                 
"Nina bobo...ooh...Nina Bobo... Ya Allah, tolong jaga anak-anak ku, buat mereka tumbuh dengan baik, buat mereka hidup dengan baik pula... Hingga nanti Kau pertemukan kami di dalam naungan surga-Mu. Kalau tidak bobo...digigit nyamuk...."
***
                 
Ibu, itu kata-kata terakhirmu yang sampai sekarang terus mengaung-ngaung di telinga, melekat erat di pikiran, tersimpan rapat di dalam relung hati. 
                 
Ibu tahu? Aku mendengar semua yang Ibu ucapkan, aku memeluk Ibu erat untuk memindahkan suhu tubuhmu yang begitu panas, aku tidak ingin tidur, aku ingin mendengar suara Ibu menyanyikan lagu itu, untuk Aku dan untuk Annisa. Aku pikir panasmu bisa berpindah terbagi dengan dingin malam yang setiap hari telah menjuluri tubuh kita, aku pikir tubuhku bisa menjadi tempat penyimpanan suhu tubuhmu yang begitu panas.
             
Ibu, saat Ibu bernyanyi, aku sama sekali tidak ingin tidur, aku ingin terus bersama Ibu. Mendengar nada-nada dari lagu pengantar tidur yang Ibu nyanyikan.
               
Ibu, pagi hari waktu itu, mengapa Ibu tak kunjung bangun untuk menyiapkan se ember air hangat untuk aku dan Annisa mandi? Mengapa Ibu tak juga membangunkan kami dari lelapnya pelukan malam? Ibu, mengapa wajahmu pucat? Mengapa Ibu diam saja waktu aku mencoba membangunkan Ibu?
             
Ibu...bangun...Kakak mau mandi...Kakak nanti telat....Ibu....
             
Ibu, apa Ibu dengar aku waktu itu? Aku membangunkanmu, Bu. Aku menantimu bangun... Ibu, aku menantikanmu menyiapkan seember air hangat untuk aku. Ibu, kenapa waktu itu Ibu diam saja? Ibu... Ibu... Ibu....
               
Ibu, malam itu, merdu suaramu, hangat pelukmu untuk Aku dan Annisa, apa itu untuk yang terakhir kalinya? Ibu... Setelah kau berhenti bernyanyi, apa Ibu melihat aku membuka mata dan memelukmu erat? Ibu... malam itu adalah malam termanis yang pernah aku rasakan, kasihmu Ibu, nyanyian dan pelukan itu adalah hal terindah dalam hidupku. Ibu... dalam doamu kepada Tuhan, semoga kita benar-benar bisa bertemu. Semoga Ibu baik-baik saja disana... Ibu tidak usah mengkhawatirkan aku dan Annisa. Kami tumbuh dan hidup dengan baik. Aku kini memiliki satu orang malaikat kecil, aku sudah ada yang menjaga, Bu. Aku telah menikah, semoga Ibu bahagia, semoga Ibu disana melihat kebahagiaan malaikat-malaikatmu yang kini sudah dewasa. Annisa tumbuh baik, Bu. Adek sekarang sudah kuliah tingkat akhir. Ah, Bu, ceritanya begitu panjang. Aku tahu Ibu pasti tahu apa yang telah kami alami, aku tahu dari surga sana Ibu pasti mengintip kehidupan malaikat-malaikat Ibu yang masih mengumpulkan bekal untuk menyusul Ibu di sana.
               
Aku rasa ini skenario Tuhan untuk keluarga kita, Aku pikir Tuhan sedang merawat Ibu jauh lebih baik, Aku tahu Tuhan sayang sama Ibu, Aku juga tahu Tuhan ingin Ibu ada di dekatnya cepat-cepat, sehingga Ibu tidak menderita terlalu lama disini. Ibu, terimakasih atas segalanya, kasih sayang tak terbalas, cinta yang masih nyangkut di hati kami untuk selamanya. Atas kebahagiaan sederhana yang kau berikan pada kami, atas keihklasan dan ketegaran jiwa yang kau wariskan. Terimakasih atas segalanya. Izinkan aku dan Annisa terus mengenangmu, Bu. Mengenang satu hari terhebat kita di pasar, dan juga hari-hari lain yang penuh pesan tersirat.
Eka...
             
           


0 komentar:

Post a Comment